[PORTAL-ISLAM.ID] Tidak mungkin di Indonesia ini tidak ada orang lain yang pantas diberikan jabatan layaknya Ahok sekarang. Baik itu dari golongan minoritas atau pun mayoritas. Ahok memang banyak “memahami” dan berjasa “membantu” Jokowi. Ahok menerima semua hukuman terkait kasus ‘penodaan agama’ tanpa berkoar sedikitpun terhadap rejim yang membiarkan semua keburukan menimpa pada dirinya. Ahok memahami kesalahannya saat berbicara terkait surat Al-Maidah 51 yang menyebabkan gelombang aksi demonstrasi berjilid besar-besaran di Jakarta. Berulang kali Ahok menyampaikan permintaan maafnya, baik itu sebelum, selama dan sesudah menjalani vonis hukuman penjara.
Di Pilkada DKI Jakarta Ahok pun kalah telak dengan Anies Basweda di putaran kedua. Kemudian Ahok pun ikhlas menerima kenyataan bahwa saat Pilpres 2019 lalu, Jokowi menempatkan kyai Ma’ruf Amin sebagai pendamping. Siapapun tahu, saat pilkada DKI Jakarta berlangsung, Ma’ruf Amin adalah pimpinan MUI yang mengeluarkan fatwa bahwa Ahok positif melakukan ‘ penistaan Agama’. Pendukung Ahok pun terhenyak, lalu tak lama diam membisu.
Lalu apa jalan tengahnya? Bagaimanapun Ahok tetap harus diberi jabatan karena jasanya. Bayangkan saja, sejak Pilpres 2014, Ahok adalah kader Gerindra. Tetapi Ahok justru dukung Jokowi, lalu tidak berapa lama keluar dari Gerindra karena berbeda pandangan soal pemilihan kepala daerah langsung atau lewat DPRD. Sebelum jadi kader Gerindra, Ahok adalah kader Golkar, tetapi kemudian juga keluar saat terjadi kemelut dengan fraksi Golkar di DPR kala itu. Seperti biasa, Ahok memang getol beradu mulut. Lucu juga jika lantas pendukung Ahok suka berargumentasi bahwa Anies Baswedan banyak bicara, Ahok banyak kerja. Tai lu, begitu netizen ikutan berkomentar di lini massa.
Pasca Pilpres 2019 usai, Ahok perlu di beri jabatan demi balas budi dan tetap mengunci Ahok untuk kepentingan 2024. Lebih dari itu, Ahok harus dicegah menjadi kutu loncat terus. Pendukung yang bersimpati kepadanya jauh lebih besar dari pada pendukung Ridwan Kamil, apalagi Ganjar Pranowo. Survei & Polling Indonesia (SPIN) yang tidak dipublikasikan mencatat bahwa hanya pendukung Sandiaga Uno yang bisa mengimbangi simpatisan Ahok. Deal ! Jadilah Ahok sebagai komisaris utama Pertamina. Sangat wajar, sebab jabatan komisaris di BUMN adalah salah satu wujud bagi-bagi kekuasaan bagi pendukung yang menang di kompetisi pemilu. Wajar tanpa pengecualian.
Idealnya harusnya Ahok yang digadang menjadi Menteri BUMN, bukan Erick Thohir yang di proyeksikan menjadi Mendikbud. Menjadi Menteri ujiannya bakal terlalu berat buat pemerintah. Jadi Gubernur aja buat gaduh dan bikin repot, apalagi jadi Menteri. Belum lagi pidana hukum pun memagarinya. Coba kalau Ahok tidak terpeleset soal Al-Maidah saat menjabat sebagai Gubernur DKI, semua akan jauh lebih mudah .
Tugas utama Ahok untuk membasmi mafia migas di Pertamina bisa halusinasi, jika hanya menjadi Komisaris utama, kecuali ada perubahan/penambahan UU BUMN yang memperluas wewenang komisaris.
Karena tupoksi komisaris utama adalah sebatas pengawasan terhadap direksi, sekaligus jembatan pemerintah dengan BUMN tersebut. Jabatan komisaris buat Ahok adalah jalan tengah paling aman, karena jika diposisikan sebagai direksi dikhawatirkan rentan terhadap risiko yang lebih besar, bahkan menimbulkan disharmonisasi di internal BUMN tersebut. Pemerintah justru akomodatif terhadap masukan dari masyarakat dan keinginannya memberi jabatan kepada Ahok. Kegaduhan yang mungkin dapat muncul menjadi minimal.
Jadi sama sekali nggak masalah Ahok dapat jabatan, karena ini memang soal politik, bukan melulu kompetensi. Kenapa? karena kalau mau berantas korupsi plus tetek bengek mafia migas itu: perkuat KPK. Ini indikator penting dalam praktek penyelenggaraan “clean & good goverment”. Keluarkan Perppu KPK. Perkuat institusi KPK, jangan dilemahkan. Bukan berharap dari figur seseorang, apalagi jika ternyata punya juga problem kasus hukum di masa lalu. Ini logika yang paling sederhana.
Akan surprise jika Ahok itu kader PKS, lalu diberi kedudukan seperti saat ini. Jadi lucu aja kalau melihat Ahokers masih terus nyinyir, kasar dan berjingkrak girang tanpa alasan. Ibarat Nikita Mirzani dapat brondong ganteng tajir, lalu pamer dan posting dirinya setengah bugilnya di sosmed.
Penulis: Igor Dirgantara