(Capim KPK Roby Arya Brata)
[PORTAL-ISLAM.ID] Sebanyak 20 orang telah dinyatakan lolos tes "profile assessment" calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masa jabatan 2019-2023.
Kemarin, Kamis (29/8/2019), dilakukan penyaringan selanjutnya melalui tes wawancara dan uji publik. Dari 20 capim ini akan diseleksi menjadi 10 capim yang akan diserahkan ke Presiden Jokowi.
Dalam uji publik kemarin, Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Roby Arya Brata menyatakan akan menolak mengusut perkara korupsi yang melibatkan personel kepolisian maupun kejaksaan jika nantinya menjadi Pimpinan KPK.
“Ubah Undang-Undang No. 30 Tahun 2002, karena ini terjadi ada kesalahan di UU 30/2002. Apa kesalahannya? Karena KPK punya kewenangan menyidik korupsi di kepolisian dan kejaksaan. Kalau saya ke depan, KPK tidak lagi punya kewenangan untuk menyidik korupsi di kepolisian dan kejaksaan. Tidak lagi,” kata Roby di Gedung Sekretariat Negara, Jakarta, Kamis (29/8/2019), seperti dikutip dari Antara.
Roby Arya Brata saat ini menjabat Asisten Deputi Bidang Ekonomi Makro, Penanaman Modal, dan Badan Usaha pada Kedeputian Bidang Perekonomian Sekretariat Kabinet (Setkab).
Dia mengatakan, adanya kewenangan KPK mengusut korupsi Jaksa dan Polisi itu memunculkan perseteruan antara KPK dan lembaga kepolisian. Padahal, kata dia, sebaiknya diserahkan lebih dulu ke Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) untuk menyidik korupsi. Menurut dia, itu yang terjadi di Australia.
“Yang terjadi adalah cicak versus buaya 1 sampai 3 karena KPK merangsek korupsi di Mabes Polri. Amati saja, begitu dirangsek cicak 1, cicak 2, cicak 3,” ujar Roby.
“Penyidik pun, itu lucu ya, saya bicara komisioner di ICAC (Independent Commission Against Corruption) Hong Kong ya, kok penyidiknya tidak berhenti dari Polri? Nah, friksi penyidik Polri dan KPK pasti punya kepentingan. Makanya harus dilepas kewenangan (menyidik Polri) dan diperkuat Kompolnas,” ujarnya.
Anggota panitia seleksi Al Araf langsung menyanggah pernyataan Roby. Menurut dia, sejarah berdirinya KPK karena ada asumsi bahwa institusi penegak hukum tidak memenuhi kapasitas baik dalam penanganan korupsi. Karena itu, KPK dibentuk untuk menangani korupsi.
“Pak Roby cukup berani. Pak Roby anggap tidak perlu KPK tangani korupsi Polri dan kejaksaan. Bagaimana?” tanyanya.
Roby kembali mengulangi pernyataannya bahwa kasus cicak dan buaya akan terjadi lagi jika sistem dan mekanisme di KPK tidak diubah. Faktanya, kata dia, karena KPK punya kewenangan itu, maka KPK tidak bisa kerja.
“Tidak ada jaminan kasus cicak versus buaya tidak akan terjadi ke depan. Kalau KPK masih punya kewenangan untuk menyidik kasus korupsi di Mabes (Polri), itu akan terjadi lagi, bukan menghilangkan kewenangan tapi memindahkan ke Kompolnas,” kata Roby.
Menurut Roby, melimpahkan kewenangan ke Kompolnas itu terjadi di Australia dan Hong Kong. “Komisionernya mengatakan ke saya tadinya punya kewenangan, tapi tiap kali menyidik lalu ‘fight back’, akhirnya dikasih ke ‘police commission’, jadi bukan hal baru,” ujar Roby lagi.
Lalu Al Araf bertanya kembali bahwa model penanganan korupsi beda-beda. Dia mengikuti alur logika Roby soal kewenangan penyidikan diberikan ke Kompolnas.
“Kompolnasnya bayangan Pak Roby independen kan? Bukan hanya menjadi tempat aduan, tapi juga investigasi. Lalu, ketika Kompolnas tangani korupsi di kepolsian, terjadi lagi benturan konflik kepentingan. Kita akan limpahkan kewenangan Kompolnas ke mana lagi?” tanya Al Araf.
Menjawab pernyataan itu, Roby mengatakan perlu design yang baik untuk meminimalkan konflik. Dengan begitu, kata dia, beban kerja KPK tidak banyak. KPK bisa fokus ke korupsi lain.
“Itu bukan solusi menurut saya. Anda hanya memindahkan konflik,” kata Al Araf lagi.