[PORTAL-ISLAM.ID] Sejumlah lembaga hukum dan organisasi pengadvokasi hak digital menjajaki upaya menggugat pemerintah ke pengadilan perdata atas pemblokiran maupun pembatasan layanan internet di Papua.
Inisiatif ini dilakukan menyusul tindakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) yang memutus data telekomunikasi di wilayah itu tanpa ada dasar hukum.
Direktur Eksekutif Institute For Criminal Justice Reform (ICJR), Anggara Suwahju, mengatakan Kemenkominfo tidak bisa semena-mena memutus internet di Papua dan Papua Barat tanpa ada dasar hukum berupa putusan pengadilan ataupun keputusan politik presiden.
“Kalau pemerintah mau melakukan pemutusan, maka presiden harus menyatakan keadaan darurat dan itu harus dijelaskan apakah untuk seluruh wilayah atau tidak,” ujar Anggara kepada BBC News Indonesia, Kamis 22 Agustus 2019.
“Dan pengumuman tidak boleh di website saja, tapi dinyatakan secara luas. Jadi semua orang tahu dan diumumkan sebelumnya,” sambungnya.
Sebab, menurut Anggara, pemutusan akses informasi digital ini berdampak luas dan merugikan banyak pihak. Ia mencontohkan, koordinasi pemerintahan di daerah akan mampet jika saluran komunikasi tak bisa diakses.
“Koordinasi saat ini kan pakai aplikasi pesan instan, sudah nggak zaman pakai walkie – talkie . Kalau diputus total, gimana pemerintahan bekerja?” tukasnya.
Karena itu, salah satu langkah yang akan ditempuh adalah menyeret pemerintah ke pengadilan perdata dengan menggunakan Pasal 1365 KUHPerdata, yakni sangkaan perbuatan melawan hukum oleh penguasa.
Pasalnya, ada kemungkinan pemerintah mengulangi hal yang sama, setelah peristiwa di depan Gedung Bawaslu Jakarta pada 21-22 Mei dan disusul rentetan aksi yang terjadi di Papua-Papua Barat.
Menanggapi rencana gugatan itu, Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika, Henri Subiakto, mempersilakan. Sebab itu adalah hak mereka sebagai warga negara.
“Silakan saja tidak ada masalah. Yang jelas pemerintah pertimbangannya luas sekali. Tidak hanya dari sisi kebebasan dan kenyamanan. Tapi apakah mereka mau bertanggung jawab kalau ada kerusuhan?” ujarnya.
Pemblokiran akses internet dengan alasan keamanan
Pemutusan atau pemblokiran layanan Data Telekomunikasi di Papua dan Papua Barat pada Rabu (21/8) dilakukan Kemenkominfo dengan dalih kondisi yang “sudah tidak kondusif” dan “atas nama keamanan”.
Hal itu merujuk pada aksi pembakaran toko, mobil, dan gedung DPRD di Fakfak, Sorong, serta Manokwari oleh massa yang memprotes insiden penangkapan dan ucapan rasial kepada mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur. Kendati dua hari sebelumnya, Kemenkominfo melakukan throttling atau pelambatan.
“Sejak Senin sampai Selasa, kami lakukan pelambatan internet. Kami pikir akan efektif, ternyata tidak. Masih banyak informasi provokatif dan hoaks yang terkirim ke Papua. Sehingga mereka turun ke jalan dan terjadi kerusuhan,” ujar Juru Bicara Kemenkominfo, Ferdinandus Setu kepada BBC News Indonesia.
Menurut Ferdinan, kerusuhan di Fakfak, Sorong, dan Manokwari pecah karena dipicu foto dan satu video yang tersebar di media sosial dan aplikasi pesan WhatsApp.
Foto yang dimaksudnya yakni gambar mahasiswa papua tewas dipukul aparat di Surabaya dan rekaman video berdurasi dua menit mengenai teriakan rasial yang diduga dilakukan aparat TNI dan Polisi di depan asrama mahasiswa Papua di Surabaya.
Dari pantauan Kemenkominfo, kedua konten itu tersebar “cukup masif hingga lebih dari puluhan ribu”.
“Hingga hari ini video itu masih beredar, tapi sedikit. Video rasis itu yang kemudian menimbulkan kemarahan,” ujarnya.
Ferdinan mengklaim, pemutusan akses internet cukup efektif meredam penyebaran foto maupun video yang disebutnya provokatif dan hoaks itu di Papua. Dampaknya, tidak ada pergerakan massa turun ke jalan.
Untuk itu, Kemenkoinfo akan melakukan evaluasi atas pemutusan internet tersebut apakah akan dilanjutkan atau tidak.
"Kami evaluasi tiap tiga jam. Kalau hari ini tidak ada aksi massa dan anarkisme dan di internet arah konten-kontennya mulai menurun, terutama yang rasis menurun… kalau sore bagus arahnya, kami akan buka blokir di sore atau malam,” jelas Ferdinan.
SafeNet: harus ada parameter yang jelas
Pembatasan maupun pemblokiran akses
internet oleh Kemenkominfo setidaknya sudah dua kali dilakukan. Pertama, ketika terjadi kerusuhan di depan Gedung Bawaslu pada 21-22 Mei.
Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika, Henri Subiakto, mengatakan tindakan serupa akan dilakukan jika ada konten yang “mengajak rusuh atau menyebarkan kebencian, hoaks, maupun SARA”.
“Kalau ada orang mengajak rusuh atau menyebarkan kebencian dengan hoaks yang terkait SARA, itu melanggar hukum dan undang-undang dan sepantasnya menurut UU ITE pasal 40 itu dipakai dan dilakukan lebih tegas,” ujar Henri Subiakto.
Sebab kewenangan membokir atau membatasi akses internet ada dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pasal 40 ayat 2a dan ayat 2b.
Pasal 40 ayat 2a berbunyi, “Pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan dan penggunaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang dilarang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Sedangkan ayat 2b berkata, “Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum.”
Namun pasal 40 UU ITE itu, menurut Direktur Eksekutif Institute For Criminal Justice Reform (ICJR), Anggara Suwahju, keliru. Sebab “muatan yang melanggar hukum” tersebut merujuk pada tindak pidana tertentu yang telah diputus pengadilan.
“Jadi tidak bisa disamaratakan. Harus kasus per kasus. Karena pemblokiran ini dampaknya luas,” ujarnya.
Lebih jauh, Direktur Eksekutif SAFE Net, Damar Juniarto, mengatakan apa yang dilakukan Kemenkominfo bukanlah menangkal hoaks, akan tetapi menangkal informasi.
Karena pemblokiran maupun pembatasan melanggar hak digital warga negara yang dilindungi pasal 19 ICCRP (Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik).
Sehingga kalau pun pemerintah ingin memutus akses internet, harus memiliki beberapa syarat. Yakni memuat indikator dan prosedur pelaksanaannya, termasuk siapa yang bertanggung jawab pada tindakan tersebut. Kedua, pemerintah memiliki parameter terhadap situasi yang dianggap tidak kondusif sehingga melakukan tindakan pemblokiran.
“Kalau alasannya hanya situasi tidak kondusif, subjektif sekali,” ujar Damar.
Damar khawatir jika tindakan serupa diteruskan, akan membahayakan masyarakat. Pasalnya, tidak ada kontrol berupa informasi atas perilaku aparat keamanan di lapangan.
“Yang mungkin terjadi kekerasan makin meningkat karena tidak ada kontrol di lapangan dan masyarakat tidak bisa antisipasi karena tidak mendapat informasi yang memadai,” jelasnya.
Sementara itu, warga di Manokwari, Safwan Ashari, menceritakan sulitnya mengakses internet sejak Senin (19/8) pagi sampai Kamis (22/8). Dia tidak bisa menerima pesan berupa teks, foto, maupun video yang dikirim lewat aplikasi pesan singkat WhatsApp dan media sosial.
“Baru bisa terima kalau dikoneksikan ke wifi,” ujarnya.
Safwan yang bekerja sebagai wartawan harian Cahaya Papua menyebut pemblokiran akses internet ini sangat mengganggu kerjanya.
“Sebagian besar wartawan di Manokwari dan Papua Barat agak kesulitan dalam menyajikan berita. Setelah meliput, kami harus koneksi ke wifi untuk kirim berita,” sambungnya.
Sumber: Viva