[PORTAL-ISLAM.ID] Ditengah polemik pemindahan Ibukota ke Kaltim yang menguras energi, Kita seolah terlena atas kejadian di Papua terus menyalakan bara konflik yang banyak memakan korban. Sudah hampir dua pekan gelombang solidaritas atas perlakukan diskriminatif dan rasialis yang terjadi di Surabaya, Malang dan Semarang terus berkobar. Meskipun telah diredam dengan berbagai upaya pendekatan, namun tak mampu dipadamkan. Bara luka Papua adalah akumulasi dari persoalan krusial yang sudah menahun dari periode ke periode pemerintahan atas marjinalisasi dan diskriminasi, pelanggaran HAM/kekerasan, dan kegagalan pembangunan dan otonomi khusus yang selama ini dilakukan negara.
Meskipun Presiden Jokowi telah memberi perhatian khusus terhadap Papua-pun larut dan gagal memahami akar persoalan yang terjadi-yang dianggap sebagai persoalan moralitas semata. Kegagalan memahami akar persoalan justru telah membakar ketidakpuasan rakyat Papua terhadap negara Indonesia. Indonesia dan elit Papua dianggap sebagai bagian dari penjajahan gaya baru bagi rakyat Papua sendiri. Maka pendekatan dialog yang bersifat elitis yang digelar di Istana dan beberapa kepala daerah terkesan formalitas, dan bahkan kunjungan Panglima TNI dan Kapolri ke Papua-pun kemarin (28/8) tak mampu mematikan bara luka lama.
Penanganan gerakan rakyat Papua bersifat anomali. Satu sisi negara melakukan pembiaran terhadap gelombang gerakan yang terjadi baik di seluruh wilayah Papua dan di luar Papua. Di sisi yang lain negara melakukan kebijakan isolasi dengan melakukan blokir internet dan kemarin (29/8) mematikan aliran listrik di Jayapura. Sudah hampir 11 hari, Negara lakukan blokir akses fasilitas data,internet dan sms dengan waktu tidak tertentu di wilayah Papua dengan tujuan untuk mengurangi dampak sebaran hoaxs. Kebijakan semacam pasti tidak menyelesaikan akar masalah, justru menambah luka dan memperkeruh keadaan di Papua. Kebijakan negara dengan blokir akses internet dan data sama saja dengan negara melakukan isolasi terhadap wilayah Papua justru kontraproduktif dengan kebijakan Presiden Jokowi yang ingin membuka akses seluas-luasnya.
Demikianpun konflik Papua yang sudah meluas menjadi legitimasi bagi aparat keamanan (TNI/Polri) untuk melakukan operasi militer kembali dengan melakukan penambahan jumlah pasukan. Operasi penyisiran terhadap Gerakan Kriminal bersenjata di sejumlah daerah Distrik Gome yang harus menyisakan hampir 800 warga mengungsi, bahkan hingga kekerasan pada aksi massa yang terjadi di Deiyai yang menewaskan 1 anggota TNI, 4 Polri luka-luka dan 6 orang warga sipil meninggal adalah bukti dari kegagalan Pemerintahan Jokowi mengelola konflik Papua.
Jika situasi ini terus berlangsung lama maka Negara dan Presiden Jokowi justru telah melenyapkan sendiri capaian pembangunan selama lima tahun yang telah dibangun di Tanah Papua. Presiden Jokowi juga telah mengecewakan rakyat Papua dan Papua Barat yang mayoritas memilihnya pada Pemilu tahun 2014 dan 2019. Di akhir pemerintahannya, Presiden Jokowi justru mengaduk-ngaduk secara sistematis dan seolah menghidupkan kembali konflik laten rakyat Papua dengan membiarkan berlarut-larutnya konflik ini terjadi dan makin meluas. Dan ini akan menjadi sejarah kelam yang ditorehkan Presiden Jokowi di tanah Papua tak ubahnya pemerintahan sebelumnya.
Saat ini bara luka Papua telah menyalakan api perlawanan rakyat yang berada di seluruh kota Papua dan Papua Barat, Jakarta, Bandung, Makasar, Solo, Jogja, Bali dan juga Belanda, Australia, Timor-timur, Papua New Gueini hingga ke PBB. Perlawanan ini tidak hanya sekedar solidaritas atas perlakuan diskriminatif dan rasialis yang terjadi di Surabaya, Malang dan Semarang, akan tetapi sudah cenderung anarkis dengan melakukan perusakan fasilitas publik dan mengarah ke tuntutan perjuangan tertinggi yakni referendum hak menyatakan nasib sendiri. Satu tuntutan yang common sense dianggap dapat membahayakan kedaulatan negara Indonesia. Gelombang amuk massa rakyat Papua tidak hanya menuntut referendum akan tetapi juga mendeklarasikan diri sebagai negara Papua Merdeka dengan mengibarkan bendera Bintang Kejora di depan aparat hukum (TNI dan Polri), di depan Pemerintahan daerah dan bahkan di depan Istana Negara. Tak ada reaksi apapun dari aparat hukum dan bahkan Presiden atas provokasi yang dilakukan gerakan rakyat Papua, dan bahkan kejadian ini terus berulang seolah memperlihatkan permisifnya TNI/Polri terhadap gerakan rakyat Papua yang ingin mengoyak kedaulatan negara.
Apakah gelombang amuk massa rakyat Papua menuntut referendum dengan mengibarkan bendera Bintang Kejora dan mendeklarasikan sebagai Papua Merdeka bukan menjadi ancaman lagi bagi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia? Bukankah tindakan yang ingin melepaskan diri dan merongong kedaulatan negara dapat dianggap sebagai perbuatan makar. Mengapa Presiden, Panglima TNI, Kapolri, Kepala BIN pun seolah membiarkan upaya gerakan amuk massa yang ingin memisahkan diri dari NKRI ini? Kenapa perlakuan berbeda diberikan terhadap umat muslim saat membawa bendera tauhid meneriakkan kilafah, semua aparat hukum sangat responsif?
Diskriminatif perlakuan terhadap ancaman disintegrasi ini tentu semakin menyakinkan kita bahwa konflik Papua ada dugaan memang diciptakan dan dipelihara oleh kelompok oligarky tertentu menjelang pelantikan Presiden Jokowi Periode II dan Pembentukan Kabinetnya. Dugaan ini terlihat ketika seorang Presiden yang memiliki otoritas penuh terhadap terselenggaranya pemerintahan dengan aman dan tertib tak mampu mengendalikan seluruh instrumen politik dan keamanan dalam menangani konflik Papua. Ketidakberdayaan Presiden dan para pembantunya inilah menjadi preseden buruk terhadap keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara kedepan ditengah rentannya konflik-konflik yang terjadi di masyarakat. Maka disintegrasi dan konflik antar anak bangsa akan mudah terbakar di bumi nusantara.
Penulis: Gigih Guntoro