[PORTAL-ISLAM.ID] Siang ini aku shalat jama' Ashar diimami anakku yang baru usia 12 tahun. Mengapa? Karena aku tak dapat duduk tawarruk dengan sempurna. Selain itu bacaannya lebih baik daripada bacaanku. Maka aku harus tahu diri. Ini soal agama. Tak boleh main-main.
Ada tuntunan dalam agama ini tentang siapa yang patut menjadi imam. Salah satu bentuk su'ul adab (buruk dalam adab) adalah seseorang memberanikan diri menjadi imam, walaupun dipersilakan, padahal buruk bacaannya, miskin ilmu agamanya.
Yang lebih buruk lagi, sudah jelek bacaannya, minta jadi imam. Sementara ia tahu di situ banyak yang mumpuni, jauh lebih utama, untuk menjadi imam.
Adapun seseorang yang memiliki pengetahuan agama secara memadai, ia mumpuni, bagus bacaan Al-Qur'an pada dirinya, banyak pula hafalannya tetapi sengaja memberi syafa’at (endorsement) untuk seseorang yang Al-Fatihah pun kurang beberapa huruf, sungguh ia khianat pada agama. Begitu pula yang sengaja menjadi imam tanpa ilmu agar orang menganggapnya mumpuni, ia pun khianat kepada agama. Tetapi di antara keduanya, yang pertama lebih buruk dibandingkan yang kedua, karena ia menggadaikan agama untuk mengais dunia.
Diam-diam teringat perkataan Syaikh 'Abdul 'Aziz Marzuq Ath-Thuraifi, "Harta yang diambil seorang 'alim agar tidak mengatakan kebenaran dan bungkam terhadap kebathilan itu lebih berbahaya daripada riba dan perjudian. Sebab, harta yang kedua itu mengais makanan duniawi dengan menjual dunia, sedangkan harta yang pertama itu mengais makanan duniawi dengan menjual agama."
[Mohammad Fauzil Adhim]