[PORTAL-ISLAM.ID] Presiden Jokowi datang ke Madura 19 Desember 2018. Para kiai dimobilisasi. Rakyat dimobilisasi dikumpulkan untuk menyambut Jokowi sekaligus diajari yel-yel “Jokowi Poleh” (Jokowi Lagi). Alih-alih meneriakkan “Jokowi Poleh” masyarakat emalah menyanyikan “Jokowi Moleh” (Jokowi Pulang).
Ini gaya khas resistensi orang Madura. Ada keberanian yang nyata disitu. Tapi, tetap saja ada humor satiris yang tajam dan pahit sekaligus cerdas khas Madura. Memplesetkan "poleh" menjadi "moleh" sungguh cerdas dan bikin ngakak. Yang tidak mengerti bahasa Madura bisa plonga-plongo.
Penggratisan jembatan Suramadu diharapkan menjadi iming-iming politik bagi warga Madura. Itu usulan konyol dari orang-orang yang tidak paham mengenai sosiologi Madura. Terbukti alih-alih mengucapkan "Mator Sekelangkong" kepada Jokowi, "Tretan Dibbik" (Saudara Kita, sebutan untuk orang Madura) malah berterima kasih kepada Prabowo, gara-gara Madura mendukung Prabowo maka Jokowi menggratiskan Suramadu.
Makanya, orang Madura menyarankan, kalau mau tol digratiskan dukunglah Prabowo.
Logika terbalik yang cerdas khas Madura.
Kisah perlawanan masyarakat Madura terhadap kekuasaan sudah menjadi bagian dari legenda politik di Indonesia.
Civil disobedience (pembangkangan masyarakat) maupun civil unrest (perlawanan masyarakat) sudah menjadi bagian dari tradisi kritis Madura. Pada 1993 Kiai Alawy Muhammad dari Sampang menjadi simbol perlawanan terhadap kekuasaan dalam kasus Waduk Nipah. Pemerintah memaksakan kehendak untuk membebaskan puluhan hektar tanah warga untuk pembangunan waduk irigasi.
Ratusan warga desa yang tidak dilibatkan dalam rembug ganti-rugi melakukan demonstrasi penolakan. Aparat keamanan lalu memberondong tembakan dan banyak warga yang tewas di lokasi. Penembakan ini menjadi tragedi internasional.
Dalam versi Gus Dur, terjadi salah komando dalam operasi keamanan itu. Petugas Koramil sudah diperintahkan untuk melakukan pendekatan "Door to Door". Tapi, ternyata yang dilakulan adalah operasi "Dor to Dor" alias tembak langsung...
Perlawanan tidak berhenti disitu. Pada pemilihan bupati 1997, masyarakat memprotes keras karena mencurigai ada rekayasa besar-besaran untuk memenangkan calon pemerintah. Akhirnya pemilu diulang. Itulah kali pertama pemilu diulang di Indonesia. Dan di era reformasi ini Madura paling sering melakukan pemilu ulang.
Upaya Jokowi menarik simpati dengan menggratiskan Jembatan Suramadu justru akan menjadi serangan balik yang merugikan karena ketidakpahaman terhadap kondisi sosio-kultural Madura. Bagi orang Madura harga diri dan kehormatan akan dipertaruhkan melawan segala-galanya.
Dari situlah muncul budaya carok, duel satu lawan satu dengan memakai clurit.
Clurit melambangkan perlawanan dan sikap kritis. Bentuknya yang melengkung seperti tanda tanya menunjukkan bahwa orang Madura mempertahankan sikap _"questioning"_ mempertanyakan ketidakadilan.
Harga diri dibela sampai mati. Prinsipnya "angok'an apoteh tolang etembang apoteh mata" (lebih baik berputih tulang daripada berputih mata).
Perhelatan politik kali ini sudah masuk tataran harga diri orang Madura. Berawal dari dipermainkannya putra Madura Mahfud MD dalam proses pemilihan calon wakil presiden Jokowi. Mahfud dipermalukan, Madura pun dipermalukan. Ketika Mahfud tidak melawan, Madura tetap melawan.
Tantangan potong leher La Nyalla Mattalitti akan membuat suasana politik di Madura tambah hangat. LNM yakin bisa mengendalikan suara Madura karena berpengalaman dalam pilgub Jatim 2004 ketika membela Khofifah melawan Sukarwo. Ketika itu isu Sukarwo terlibat PKI juga kencang berseliweran.
Tapi, sekali lagi, mengasumsikan orang Madura bisa disogok dengan uang dan akan manut saja kepada kiai adalah asumsi dangkal yang tidak memahami tradisi perlawanan kritis Madura.
Jangankan cuma kiai atau preman lokal, profesor sehebat Habibie pun mati kutu.
Sewaktu menjadi menristek, Habibie berkunjung ke Madura dan berceramah mengenai kehebatan orang Amerika yang bisa mendarat di bulan. Seorang peserta menginterupsi supaya Indonesia mengirim manusia ke matahari. Habibie menjawab tidak mungkin, karena pesawat akan meleleh sebelum mendekat matahari. Tak mau kalah si Madura mengusulkan pesawat berangkat setelah maghrib....
Medureh elaben...
Penulis: Dhimam Abror Djuraid (Mantan Ketua PWI Jawa Timur)