Ini tulisan bagian kedua Serangan AS ke Suriah
Tulisan bagian poertama: KLIK INI
Lalu bagaimana selanjutnya ?
Yang perlu dilihat dan dipahami terlebih dahulu disini adalah tentang posisi masing-masing kelompok negara pemain di Suriah, yakni Rusia dkk, AS dkk, serta Turki dkk.
Secara umum, Rusia sebagai kekuatan penyokong rezim Assad tentu memiliki kepentingan agar rezim Assad menang. Hanya masalahnya, sebetulnya rezim Assad sudah tak pantas untuk bahkan disebut sebagai boneka, karena rezim Assad hanyalah façade atau tampak muka dari kekuatan kolonialis modern Rusia dan Iran, karena seluruh persenjataan dan sokongan internasional berasal dari kedua negara ini.
Mengalahkan “rezim Assad” secara militer hanya dapat dilakukan dengan melakukan konfrontasi langsung dengan militer kedua negara itu, hal yang sulit dibayangkan akan dilakukan baik oleh AS dkk (NATO) maupun Turki dkk (Turki, Qatar, Kuwait, Pakistan).
Bila pada akhirnya terjadi konfrontasi demikian, maka Suriah akan menjadi ladang peperangan yang akhirnya juga menyeret kacau kondisi dalam negeri masing-masing pihak, hal yang tidak akan pernah diinginkan baik oleh Rusia yang ekonominya masih lemah, Iran yang para Ayatullah-nya sejatinya dipandang sebelah mata oleh rakyat Iran sendiri, serta oleh Amerika Serikat yang dalam sejarahnya sejak Perang Dunia Pertama selalu ingin aman. Berarti, jalan diplomatis-lah yang bisa diambil demi mengakhirinya. Hanya, ini pun tidak mudah.
Selain kepentingan eksplisit, ada pula kepentingan implisit yang diambil Rusia saat memasuki Suriah di pihak rezim Assad. Analis Hubungan Internasional dari Universitas Lille-Perancis Hasmi Bakhtiar menyebut bahwa ada keinginan Rusia untuk memacu produksi persenjataannya yang merupakan salah satu ekspor utama mereka. Ini rasional, karena industri persenjataan menjadi salah satu industri penyerap tenaga kerja utama di dalam negeri Rusia, yang saat ini belum sepenuhnya pulih dari kejatuhan harga minyak dunia dan sanksi ekonomi yang diterapkan. Dengan memasuki Suriah, Rusia memiliki kesempatan untuk “membuktikan” superioritas persenjataannya sekaligus menjadikan Suriah sebagai test-ground persenjataan disamping show-of-force kekuatan mereka. Bila akan terjadi gencatan senjata atau perdamaian, maka mau tidak mau pihak yang berseberangan meja dengan Rusia, siapapun itu, harus mau mempertimbangkan hal ini. Ini belum lagi soal Amerika Serikat dkk yang meyakini bahwa mereka juga harus memiliki “ghanimah” tersendiri dari keterlibatan mereka di Suriah. Diluar itu, ada isu lebih vital yang tidak bisa dibuktikan dengan pasti dan tersurat keberadaannya, tapi isu yang kurang lebih selalu berkelibat di sekitar meja perundingan dan pena analis.
Pipa Minyak dan Gas
Sejak sebelum perang sipil Suriah meletus, telah sering dicetuskan mengenai isu pembangunan pipa minyak dan gas dari Timur Tengah yang akan langsung melintas menuju Eropa. Hal ini karena meski terdapat narasi “green energy” di benua Eropa, sedikit banyak ekonomi Eropa tak akan mampu tumbuh tanpa suplai minyak demi “memberi makan” perekonomiannya.
Dari sudut pandang Eropa dan secara garis besar sudut pandang NATO dimana mayoritas negara-negara Eropa adalah anggotanya, serta Amerika Serikat (AS) adalah pimpinannya, pipa minyak dan gas yang langsung mengalir dari Timur Tengah menuju Eropa bukan hanya menguntungkan secara perekonomian, dimana Eropa akan mampu secara maksimal mendiversifikasi sumber energinya yang sejauh ini bergantung pada Afrika Utara (Aljazair, Mesir dan Libya) untuk sumber minyak dan gas serta Rusia untuk sumber gas, serta ini akan mampu membalik keadaan di meja perundingan apapun di masa depan dan memberi leveraging atau nilai negosiasi tambahan bagi blok Uni Eropa. Mengapa?
Karena dengan ditemukannya sumber energy baru, maka Eropa secara de facto akan mampu memilih lebih banyak sumber energy, yang berarti kekuatan Afrika Utara dan Rusia dalam meja perundingan akan melemah.
Melihat posisi Timur Tengah (penguasanya) yang bersikap lemah dihadapan Eropa, maka Eropa akan dengan mudah mendapatkan apa yang mereka inginkan. Dampaknya adalah, bargaining power Rusia akan melemah dan tidak lagi bisa membully Eropa seperti yang dilakukan Putin selama ini.
Bagi Amerika Serikat, ini juga akan menguntungkan karena dominasi mereka akan semakin menguat yang tentunya berdampak kepada berbagai hal lain.
Direncanakan beberapa rute dalam pembangunan pipa minyak dan gas (migas) ini, yakni dari daerah Teluk Persia/Teluk Arabia melewati Iraq, memasuki wilayah Suriah Utara lalu melewati dasar laut Mediterania menuju Eropa di sekitar Italia.
Pilihan kedua atau dikenal sebagai “Iran Pipeline”, pipa akan melewati wilayah Turki lalu memasuki Eropa di Yunani.
Dan rencana rute ketiga adalah dari Suriah memasuki wilayah “Kurdistan Turki” (Anatolia Tenggara) lalu melewati Siprus dan menuju titik di area Adriatic.
Selain rencana “Iran pipeline”, pembangunan pipa minyak dan gas ini sediakala akan dilaksanakan pada pertengahan dekade 2010 dan direncanakan selesai di awal dekade 2020, bersamaan dengan diselesaikannya pipa minyak dan gas dari Azerbaijan yang melalui Anatolia dalam (Turki). Namun, satu hal merusak rencana ini.
Revolusi rakyat Suriah pada 2011 membuat keadaan Suriah menjadi kacau. Ditambah dengan perilaku rezim Assad yang biadab, hal ini membuat rencana itu semakin berkomplikasi. Tak mungkin Eropa melakukan kerjasama secara langsung dan besar dengan Assad, itu akan merusak citra Eropa sebagai benua peradaban. Namun mendukung penggulingan Assad pun sulit, karena tak ada jaminan bahwa oposisi Suriah akan menjadi pemerintahan yang kompeten (mengikuti permintaan Eropa) serta ditambah posisi Iran sebagai salah satu penyuplai migas asal Timur Tengah yang mendukung Rezim Suriah dan diminta untuk menghentikan program nuklirnya, membuat Eropa dan NATO mencari alternative pilihan.
Kekhawatiran Putin akan berkurangnya leverage & bargaining power serta berkurangnya penghasilan migas mereka pun sepertinya dieksploitasi oleh Assad dkk untuk membujuk Putin bergabung dengan mereka, terlepas hubungan Suriah-Soviet yang terjalin lama.
Kini, apapun yang diadakan dalam meja perundingan di masa depan, kekhawatiran Rusia mengenai hal ini akan menjadi salah satu topik yang perlu dipahami lawan rundingnya.
Dipihak NATO (AS & Eropa minus Turki), sikap Rusia ini tak dilepas begitu saja oleh mereka. Seperti dikonfirmasi oleh Hasmi Bakhtiar, NATO memakai isu kedekatan Rusia-Iran untuk menakut-nakuti Timur Tengah agar membeli lebih banyak persenjataan dari mereka (AS, Inggris dan Perancis) serta melakukan pemberian “upeti” secara tak langsung melalui pembelian pesawat-pesawat Boeing dan Airbus.
Selain itu, tersirat bahwa AS dan Eropa tidak begitu saja melupakan rencana ini (pipa minyak gas). Terbukti, meski mereka tidak mendukung Free Syrian Army (FSA) maupun oposisi Suriah di poros Damaskus-Homs-Aleppo, mereka mendukung “oposisi” Suriah di wilayah Utara yakni kelompok Komunis (PYD/YPG/PJAK/PKK) yang didominasi orang-orang Kurdi. Terlihat jelas dalam “operasi” mereka yang dibeking AS bahwa wilayah-wilayah yang mereka kuasai sepenuhnya berada di wilayah utara Suriah, mulai dari al-Hasakah (Rojava) di perbatasan Iraq hingga Manbij di perbatasan Turki.
Bila AS serius ingin menumbangkan Assad, tentu oposisi di poros Damaskus-Homs-Aleppo juga akan mereka dukung, karena kedua kelompok sebetulnya sama “lemah”nya dan Putin baru memasuki Suriah pada awal 2016. Oposisi bekingan AS inilah yang kemudian mengklaim menjadi perwakilan rakyat Suriah di utara, serta keinginan mereka untuk mendirikan negara Kurdistan. Meski awalnya terlihat aneh, dimana kelompok kiri-Komunis bisa bekerjasama dengan NATO-Kapitalis, perlu diingat bahwa kepentingan, bukan ideology, akan menjadi satu-satunya hal yang abadi. NATO dkk ingin mengamankan suplai migas-nya, sementara Kurdi Komunis ingin memiliki negara sendiri.
Dua kepentingan yang berbeda ini (kelompok AS-Rusia) sebetulnya pernah diupayakan untuk direkonsiliasi di era presiden Obama, yakni berupa Partition of Syria atau pemecahan Suriah. Pada 2016 secara diam-diam ini didiskusikan. Selain pembagian Sphere of Influence dan penjualan senjata, sempat direncanakan bahwa Rusia akan mendapat “tumpuan” dibawah “negara Assad” yang terbentang dari Mediterania hingga Palmyra, sementara AS akan mendapat “bagian” di wilayah-wilayah “Kurdistan”. Dengan begini, AS dan Eropa bisa menjalankan rencana diversifikasi energi mereka, dengan Rusia tetap mampu men”cek” jalur suplai ini melalui pangkalan mereka di “negara Assad”. Secara global, NATO (minus Turki) mempunyai keluasan bargaining power, dan Rusia tidak sepenuhnya dirugikan dari hal ini.
Lalu mengapa sekarang justru terkesan tidak ada gerakan apapun di dunia internasional? Mengapa bahkan konferensi perdamaian kini terulur-ulur? Karena makar ini hampir berhasil, andai tidak ada Turki.
Turki dibawah Erdogan sukses mengeksploitasi narasi Syiah yang dibawa Iran, keanggotaannya sendiri didalam NATO, perannya yang menampung jutaan pengungsi serta isu keamanan nasionalnya sendiri untuk mengobrak-abrik rencana yang tadinya akan memungkinkan Rusia dan NATO ber-salsa ria diatas darah rakyat Suriah.
Bagaimana Turki bermanuver soal Suriah? Dan bagaimana Suriah kedepannya? Ini akan dibahas di bagian 3.
Oleh: Mohamad Radytio Nugrahanto