[PORTAL-ISLAM.ID] Amerika Serikat (AS) dibawah perintah presiden Trump baru saja melakukan serangan ke instalasi-instalasi milik rezim Bashar al-Assad di Suriah, pasca diungkapkannya fakta bahwa rezim Assad kembali melakukan serangan Kimia terhadap rakyatnya sendiri.
Serangan yang baik jumlah maupun bobot misil yang dipakai adalah dua kali lebih besar dibanding serangan serupa tahun lalu ini disebut sukses melumpuhkan kemampuan rezim Assad menghasilkan bahan Kimia untuk senjata maupun kemampuan peluncurannya. \
Namun, dalam skala yang lebih luas, apa dampaknya?
Serangan roket ini memang sukses melumpuhkan kekuatan kimia rezim secara khusus dan berbagai pangkalan secara umum, hanya saja yang tidak boleh dilupakan adalah secara realitas, rezim Assad sudah “lumpuh” sejak lama. Dengan kehadiran dan sokongan dari Iran pun, pada 2015 silam banyak prediksi menyebutkan rezim Syiah ini hanya memiliki beberapa tarikan nafas. Kehadiran Rusia-lah yang mengubah segalanya, membuat rezim Assad menjadi jumawa dan membalik keadaan. Kini, secara de facto, saya berani menyebut bahwa tanpa adanya dialog atau kesepahaman dengan Vladimir Putin, maka bukan saja perang di Suriah tidak akan pernah berakhir, bahkan bisa saja rezim Assad yang mendapatkan kemenangan, meski sejatinya itu adalah kemenangan Putin. Kasarnya, seorang tuan tak akan pernah membiarkan anjingnya babak belur dipukuli tetangga, meski si anjing yang mengacau duluan.
Karena itulah, dalam pandangan secara umum maka serangan ini hanyalah “basa-basi”, atau hanya demi menunaikan kewajiban AS dkk sebagai “superpower” dan “polisi dunia”.
Tidak adanya penyerangan pada instalasi-instalasi yang dipakai oleh balatentara Putin serta tidak adanya bantuan riil pada Free Syrian Army (FSA) lebih meyakinkan saya untuk menyebut serangan ini hanya basa-basi.
Mengapa? Karena meski AS menyuplai penuh oposisi yang berafiliasi dengan kelompok Komunis-Kurdi (PYD/YPG/PJAK/PKK), kelompok-kelompok komunis ini beraksi dan berada di bagian utara Suriah, jauh dari medan tempur yang panas dan sebenarnya, yakni di poros Damaskus-Homs-Aleppo.
Baik pada saat kejatuhan Aleppo maupun Ghouta, AS cenderung hanya mengeluarkan pernyataan-pernyataan normative mengecam rezim Assad beserta penyokongnya.
Terlebih, dari berbagai narasi pemerintahan presiden Trump, tersirat bahwa Trump sebetulnya hanya ingin membedakan dirinya dengan mantan presiden Obama yang tidak bertindak apa-apa meski serangan Kimia, yang Obama sebut sebagai “garis batas”nya, kerap dilanggar secara terbuka oleh rezim Assad.
Seberapa pun bersyukurnya kita atas sikap presiden Trump yang setidaknya menegakkan kembali “garis batas” moral tersebut, sikap ini sama sekali tidak cukup untuk mengakhiri perang di Suriah, apalagi mendepak rezim Assad dari kekuasaan. Tanpa adanya penggerakan dukungan pada FSA ataupun dukungan penumbangan Assad dalam diplomasi internasional, serangan ini tak lebih hanya basa-basi.
Lalu bagaimana selanjutnya?
Yang perlu dilihat dan dipahami terlebih dahulu disini adalah tentang posisi masing-masing kelompok negara pemain, yakni Rusia dkk, AS dkk, serta Turki dkk. Ini akan dibahas di bagian kedua.
Penulis: Mohamad Radytio Nugrahanto
US and allies strike Syria. Here are 5 things you need to know. pic.twitter.com/x4eJuLesop— Al Jazeera English (@AJEnglish) 15 April 2018