Oleh: Teguh Setiawan
(Mantan jurnalis Republika)
Satu hari di tahun 1995, dua hari sebelum peluncuran N250, seorang wartawan senior koran ternama di Indonesia berkomentar sinis tentang pesawat buatan anak negeri. Mengutip banyak orang, si wartawan nggak percaya pesawat itu bisa terbang.
Uji terbang sukses, tapi saya tidak pernah lagi bertemu si wartawan. Sayangnya, N250 tidak pernah diproduksi massal karena harus mengikuti uji terbang di sejumlah negara untuk mendapat sertifikasi FAA. Dua tahun kemudian Indonesia terjerumus ke dalam krisis. IMF mencoret program pengembangan pesawat terbang sabagai syarat pemberian pinjaman.
Tahun 1996, Habibie 'dihina' habis-habisan ketika Indonesia dan Thiland bersepakat menukar CN235 dengan beras ketan. Sebagai wartawan Republika, yang diidentifikasi dekat ke ICMI dan kekuasaan saat itu, saya kerap mules mendengar hinaan itu.
Entah bagaimana, saat berkunjung ke kantor Indroyono Soesilo -- saat itu deputi ketua BPPT bidang kelautan -- saya membuka-buka majalah Flight. Ada berita tentang produsen pesawat di Italia yang menukar produknya dengan telur. Pembelinya adalah Thailand.
Saya katakan bagaimana kalian menanggapi berita ini. Semua diam. Saya bilang, yang namanya barter seperti ini biasa dalam perdagangan internasional.
Kendati demikian tetap saja maki-maki tak berhenti. Seorang wartawan lain mengatakan; "Kita kan cuma bikin karoseri-nya, nggak bisa bikin mesinnya."
Saya langsung bertanya kepada sang wartawan itu: "Apakah Boeing dan Airbus bisa bikin mesin pesawat sendiri?" Wartawan itu hanya bisa terdiam seribu bahasa. Seperti orang yang kerongkongan tersedak saat makanan, wajah dia terkejut tapi tak berdaya.
Lalu saya pun bertanya lagi kepadanya: "Apakah Boeing dan Airbus membuat sayap, kursi, badan, atau lainnya?" Lagi-lagi dia juga hanya terdiam.
Ketika terjadi kecelakaan CN235, wartawan itu pun sibuk mengejar Habibie hanya untuk menyudutkannya. Kecelakaan pesawat buatan Habibie dia konsumsi bersama wartawan lainnya sebagai 'trageditainment', atau tragedi yang menghibur. Kesan pesawat buatan IPTN buruk terlanjur ada di belakang kepala mereka, kendati banyak negara membeli pesawat itu.
Ironisme sinisme itu tak hanya menjalar di kalangan terpelajar seperti jurnalis, namun elit politik saat itu juga ikut tertular. Dalam perbincangan dan diskui kaum elit, olok-olok terhadap pesawat buatan anak bangsa ini kala itu begitu lazim terdengar. Nama lain dari N250 yang mengambil dar nama tokoh wayang Gatotkaca semasa kecil, yakni 'Tetuko' diplesetan menjadi singkatan pejoratif dalam bahasa Jawa: Sing tuku ora teko-teko, sing teko ora tuku-tuku (yang beli tidak kunjung datang, dan yang sudah datang tak kunjung membeli).
Bahkan sosok tertentu, yang di kemudian hari menjadi tokoh penting dan namanya melambung sampai kini, saat itu juga kehilangan nalar serta sikap rendah hatinya. Ada tokoh yang bergurau dengan menceritakan kisah fiktif tentang N250 atau juga N235 saat hendak masuk ke wilayah sebuah negara jiran dengan tanpa izin. Tokoh itu dengan santai mengatakan: "Tak usahlah pesawat IPTN ditembak, nanti kan pesawat itu jatuh sendiri!"
Tokoh lain yang pada hari ini masih dipuja setinggi langit saat itu juga berkata tak kalah sinis. Bahkan tak segan tokoh tersebut menyerang sosok orang yang dibalik kesuksesan pembuatan N250, yakni BJ Habibe. Dalam sebuah perbincangan dari Bandara Soekarno Hatta menuju kawasan Menteng, dia dengan ringan hati menyebut sosok Habibie sebagai orang yang belum sempurna atau terlambat menjadi manusia.
"Dia hanya kenal teknologi, dan tak kenal manusia,'' katanya. Ujaran sinis ini muncul karena saat itu BJ Habibie menduduki jabatan wakil presiden (kemudian menjadi Presiden RI) dan banyak menduduki jabatan stategis lainnya.
Nah, kini menjelang hari ulang tahun ke 72 Republik Indonesia, N219 meluncur menyusul 'kakak kandungnya' yang diluncurkan 22 tahun silam saat Indonesia memasuki usia setengah abad. Saya tidak tahu reaksi masyarakat Indonesia saat ini karena saya tidak main Twitter dan Instagram. Yang pasti di Facebook, berita peluncuran pesawat itu tidak ramai.
Saya juga tidak tahu apakah wartawan-wartawan lama itu (dan elit atau tokoh bangsa lainnya), sebagian telah pensiun, masih berkomentar sinis. Sebab, janganlah karena kebencian maka kita tak bisa bertindak adil dan bersikap laksana pepatah Melayu: tiba di mata dipicingkan tiba di perut dikempisan. Ironis memang!
*Sumber: ROL