Peran Media Dalam Pembuatan dan Klarifikasi Hoax "Jenazah Nenek Hindun Ditelantarkan"
Oleh: Ismail Fahmi, Ph.D
(Social Network Analysis)
Headline dari Liputan6com ini memang sangat eye catching, provokatif, dan sudah bisa diduga akan menjadi sangat viral: "Jenazah Nenek Hindun Ditelantarkan Warga Setelah Pilih Ahok". Hingga hari ini sudah diretweet sebanyak 1000 kali.
Simpang siurnya kabar tentang pengurusan jenazah almarhumah diwarnai dengan penyebaran berita-berita dari media, juga dugaan, analisis, opini, dan judgment dari netizen. Namun, yang paling berperan dalam menentukan arah diskursus adalah temuan-temuan baru, fakta-fakta baru dari lapangan yang diberitakan oleh media. Setiap ada fakta baru, akan terjadi lonjakan mention di media sosial.
Drone Emprit mencoba membuat analisis relasi media online dengan media sosial. Kita ingin melihat untuk isu yang simpang-siur, bercampurnya hoax, fakta, dan propaganda, siapa yang paling berperan dalam membangun opini dan menemukan titik terang.
Setting Data
Dengan kata kunci "jenazah" lalu difilter dengan kata kunci "nenek" atau "hindun", didapatlah data percakapan mulai tanggal 10 Maret.
Awal Mula
Awalnya ada berita pada pukul 5 pagi dari Tabloidbintang yang memberitakan bahwa "Jenazah Nenek 78 Tahun Ini Dilarang Dishalatkan di Mushala Karena Semasa Hidup Mendukung Ahok". Secara otomatis berita ini dishare oleh akun @Selebtainment, namun tidak mendapatkan response. Mungkin karena masih pagi, jam 5, orang belum bangun.
Setelah akun @budimansudjatmiko ngeshare berita yang sama pada pukul 13:28, berita ini menjadi makin naik viralitasnya. Dan sejak jam itu, percakapan makin ramai.
Resonansi Media Online dan Media Sosial
Dari grafik timeline yang menyandingkan trend percakapan di Twitter dan pemberitaan di media online, tampak ada korelasi. Ketika sebuah fakta baru atau klaim baru dimuat oleh banyak media, volume percakapan di Twitter juga meningkat.
Percakapan di Twitter yang paling banyak mendapat retweet adalah yang berisi share terhadap berita dari media online, bukan opini tokoh atau klaim netizen. Opini tokoh baru akan dishare jika itu sudah dimuat oleh media online.
Dari ilustrasi trend percakapan dan pemberitaan tersebut, ktia bisa tahu contoh2 berita yang paling banyak mendapat share pada jam2 tertentu. Di sini kita bisa melihat, media mana yang sudah berat sebelah dalam pemberitaannya, dan mana yang benar-benar mencoba mencari dan menyampaikan fakta sebenarnya di lapangan.
Peran Media sebagai Cross-Checker
Sengkarut semacam ini dengan cepat akan berhenti ketika ada media yang benar-benar melakukan riset lapangan secara menyeluruh, mewawancarai semua pihak yang terkait, dan menyajikan reportasi runut dan jujur. Inilah media yang kita butuhkan di saat berita hoax, propaganda, dll menyebar.
Dalam kasus ini, saya menangkap media Tirto.id cukup sabar dalam memberitakan. Dia tidak sepotong-sepotong dalam membua laporan. Tidak menyampaikan informasi dari satu sisi, kemudian mencari sisi lain lalu dilaporkan, dan seterusnya. Namun, Tirto mengumpulkan terlebih dahulu seluruh bahan, lengkap, baru menyajikan laporan dengan runut. (https://tirto.id/sengkarut-pilkada-dki-pada-jenazah-nenek-hindun-ckBb)
Forum Anti Hoax dan Media Online
Saya cek juga apakah sengkarut ini juga dibahas di FAFHH (Forum anti hoax). Ada sebuah pembahasan di sana, dan diskusinya cukup menarik. Dari diskusi yang ada, komentar yang menyertakan fakta dilapangan berdasarkan laporan media online maupun opini menjadi penentu arah diskusi.
Di forum ini, mereka sudah cukup rasional, misal sumber media opini Seword.com tidak lagi diterima sebagai sumber yang bisa dipercaya. Ketika ada yang menggunakan sumber ini, langsung diingatkan oleh anggota lainnya.
Seiiring dengan waktu, fakta2 baru muncul di media online seperti Jawapos. Klarifikasi dari lembaga seperti Polri yang dimuat oleh media ini, dishare di forum, dan kemudian dianggap kesimpulan bisa diambil dari sumber2 yng masuk.
Closing
Dari trend, SNA, dan diskusi para aktifis anti hoax, terlihat betapa pentingnya peran wartawan dan media online dalam pemberantasan hoax, melakukan cross-checking, dan menyajikan pemberitaan yang jujur dan berimbang. Relawan anti hoax tidak memiliki kapasitas untuk melakukan riset lapangan, dan mereka membutuhkan laporan2 dari media2 ini untuk melihat benang merah dan mengambil kesimpulan.
Kesimpulan ini sejalan dengan pemikiran sebelumnya, tentang pentingnya membuat inisiatif cross-checker seperti yang dilakukan di Paris dan Jerman. Pemeran utama dalam cross-checking ini adalah media dan wartawan.
So, PWI, Dewan Pers.. it is your call now..
__
Sumber: fb penulis